Selasa (9/2) kemarin menjadi hari terakhir kereta Prambanan Ekspres (Prameks) bertugas di rute Solo-Yogyakarta. Menurut informasi yang saya dapatkan dari beberapa media, Prameks tidak sepenuhnya purnatugas, melainkan pindah rute Yogyakarta-Kutoarjo. Sementara rute Solo-Yogyakarta akan diisi KRL, sepertinya mirip dengan yang beroperasi di Jabodetabek.
Meski tidak lagi tinggal di Solo, kenangan naik Prameks masih melekat di ingatan saya. Ular besi itu menjadi moda transportasi favorit setiap bertandang ke Yogyakarta. Bagaimana tidak, hanya dengan 8 ribu rupiah, saya sudah bisa sampai di Jogja dalam waktu 1 jam.
Dulu, sewaktu masih di Solo, saya sering mendadak dapat ide di hari libur, "Wah, ke Jogja enak nih kayaknya!" Dan yang terjadi selanjutnya, saya langsung tancap gas ke stasiun, beli tiket, dan pergi ke Jogja.
Jalan Malioboro Yogyakarta |
Sesampainya di Jogja, saya biasanya mlipir sarapan dulu di Soto Pak Gareng dekat stasiun Tugu. Selesai isi bensin, saya lalu berputar-putar di sekitaran Malioboro dan Keraton. Menjelang sore, saya berjalan kaki kembali ke stasiun Tugu untuk naik Prameks pulang ke Solo dengan hati gembira dan wajah keling terbakar matahari.
Kadang saya pergi dengan teman sekantor ke Jogja. Kalau ramai-ramai, kami biasanya beli tiket PP dari jauh-jauh hari biar terjamin kebagian semua. Tiket Prameks laris manis banget, lho! Nggak jarang juga saya apes kehabisan tiket dan terpaksa naik bis.
Di jam-jam sibuk yaitu dua keberangkatan pagi jelang masuk kantor atau sore usai pulang kantor, Prameks penuh penumpang. Penuhnya Prameks sangat berbeda dengan KRL Jabodetabek yang terasa sesak sampai-sampai mau garuk pantat saja susah. Ya, karena jumlah tiket Prameks juga dibatasi. Jadi walaupun penuh, kita masih bisa haha hehe.
Di Prameks, beberapa penumpang yang biasa berangkat di jam sibuk sudah berbekal kursi lipat kecil. Mereka memasrahkan tempat duduk di kereta untuk penumpang lain, sementara mereka duduk di dekat pintu dengan kursi yang mereka bawa.
Jika tidak kebagian tempat duduk dan tidak membawa kursi lipat, penumpang juga biasa duduk ndlosor di bawah, baik di lorong kereta atau di dekat pintu. Tidak ada yang marah-marah saat tidak sengaja bersenggolan atau saat langkahnya terhalang karena penumpang lain ndlosor di lantai kereta. Kondektur pun tidak mempermasalahkan hal itu.
Penumpang Prameks duduk di lantai kereta sambil tertidur |
Berbeda dengan yang kutemui saat naik KRL. Pernah sekali waktu, sepulang bekerja saya nekat naik KRL sampai stasiun Grogol, dekat kosan. Ada ibu-ibu bertengkar karena bersenggolan saat berebut masuk kereta. Setelah itu, saya tidak mau lagi naik KRL di jam sibuk.
Kenikmatan lain yang hanya bisa dirasakan jika naik Prameks paling pagi adalah melihat pemandangan matahari terbit dengan latar gunung serta hamparan sawah di daerah Klaten. Mata yang terkantuk-kantuk karena bangun kepagian seketika jadi segar karena melihat cantiknya langit jingga.
Pemandangan matahari terbit yang mengintip di sela pintu Prameks |
Pemandangan matahari terbit di persawahan di Klaten |
Kereta Prameks bisa dibilang lumayan jadul. Interiornya pun jelas kalah dengan KRL Jabodetabek yang kursinya sudah empuk. Tapi saya yakin banyak yang akan merindukan kesederhanaan Prameks, termasuk saya.
Sayonara,
Prameks!